The Cuban Hijackings: Era Pembajakan Pesawat yang Merubah Wajah Aviation Security

Photo: Peter Upton Collection Vickers Viscount Network

Airportman.id – Praktik pembajakan pesawat saat ini sudah sangat jarang terjadi. Salah satu faktornya adalah tingkat keamanan dan prosedur pemeriksaan keamanan penerbangan sudah sangat ketat dan menggunakan peralatan yang canggih.

Dalam hal ini, peran Aviation Security sangatlah vital dan krusial. Aviation Security adalah kombinasi tindakan dan sumber daya manusia dan material untuk melindungi penerbangan sipil dari tindakan gangguan yang melanggar hukum (acts of unlawful interference). Gangguan yang melanggar hukum dapat berupa tindakan terorisme, sabotase, ancaman terhadap jiwa dan harta benda, komunikasi ancaman palsu, pengeboman, dll.

Mengutip dari Britannica, sampai dengan tahun 1960-an, praktik dan peran aviation security masih relatif sederhana, hanya polisi sipil yang bertugas memberikan perlindungan melawan kejahatan konvensional seperti pencurian, pencopetan, vandalisme, dan pembobolan.

Bahkan setelah adanya aksi pembajakan dan pengeboman pesawat United Airlines flight 629 di tahun 1955 oleh Jack Gilbert Graham yang menewaskan 44 orang, keamanan penerbangan masih belum menjadi perhatian.

Sampai dengan akhirnya terjadi sebuah era pembajakan pesawat yang masif terjadi dan awal perubahan prosedur keamanan penerbangan secara total. Pembajakan tersebut sebagian besar berasal dari negara yang sama, yaitu Kuba sehingga dikenal sebagai The Cuban Hijacking.

Pada masa itu, periode tahun 1961-1973, penerbangan sipil menjadi target kejahatan bermotif politik. Kejahatan-kejahatan ini mencakup tindakan terorisme, seperti penembakan massal dan pemboman hingga serangkaian pembajakan pesawat yang banyak terjadi.

Dikutip dari artikel berjudul “The Cuban Hijackings: Their Significance and Impact Sixty Years On” di website Transport Security International, pembajakan-pembajakan yang terjadi di periode tersebut banyak berkaitan dengan negara Kuba, yang banyak memberikan suaka politik kepada para pembajak. Dalam rentang waktu tersebut, telah terjadi 159 kasus pembajakan pesawat, 85 di antaranya dialihkan (diverted) ke Kuba.



Pembajakan ini berkaitan dengan Revolusi yang terjadi di Kuba pada akhir 1950-an. Revolusi dipimpin oleh Fidel Castro bersama adiknya, Raul Castro, dan Ernesto ‘Che’ Guevara melawan rezim Fulgencio Batista, pemimpin sekaligus diktator Kuba saat itu.

Fidel Castro, Raul Castro dan Che Guevara (Sumber: desinformemonos.org)

Hingga pada tahun 1958, perekonomian Kuba terdampak akibat revolusi yang terjadi, seperti penurunan jumlah turis hingga embargo dari Amerika Serikat. Pada Juni 1958 sedianya dilangsungkan pemilihan presiden di tengah situasi tersebut namun akhirnya ditunda ke bulan November 1958 akibat adanya serangan.

Pada Juli 1958, Batista melakukan intervensi militer melawan pasukan pemberontak, yang akhirnya membuat Fidel Castro melakukan berbagai upaya perlawanan. Salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan adalah pembajakan terhadap penerbangan komersial, terutama pesawat nasional Cubana de Aviacion.

Dalam tiga minggu pertama di bulan November 1958, pasukan pemberontak berhasil membajak seperempat armada Cubana de Aviacion.

Dalang dari ide pembajakan ini adalah Raul Castro, hingga ia dijuluki sebagai ‘the father of the modern crime of skyjacking’ (Bartholomew Elias, 2002, Jin-Tai Choi, Robert B. Munson, 1994). Raul Castro berpendapat bahwa upaya pembajakan tersebut menjadi alat yang efektif untuk menarik perhatian dunia pada revolusi yang sedang berlangsung di Kuba dan menjadi alat tawar-menawar politik yang kuat.

Hingga pada akhirnya, saat Fidel Castro akhirnya menjadi Perdana Mentri Kuba pada tahun 1959, terjadi peningkatan terhadap pembajakan pesawat dengan rute Kuba ke Amerika Serikat. Pelakunya paling banyak adalah para pendukung Fulgencio Batista yang telah digulingkan. Orang-orang ini mencoba mencapai Amerika Serikat untuk melarikan diri dari rezim Castro dan mereka disambut secara terbuka di Amerika Serikat sebagai pengungsi politik yang mencoba melarikan diri dari negara yang dianggap terlalu dekat dengan ideologi Uni Soviet.

Penumpang pesawat Eastern Airlines yang dibajak ke Kuba tahun 1969 (Sumber: Lynn Pelham/The LIFE Picture Collection)

Fidel Castro merespons dengan memperketat keamanan penerbangan di Kuba dengan menempatkan keamanan bersenjata di dalam pesawat. Salah satu alasan dari tindakan tersebut adalah karena sikap Amerika Serikat yang tidak mau mengembalikan pesawat yang dibajak selama proses hukum berlangsung.



Beberapa langkah perdamaian beberapa kali dilakukan, diantaranya adalah mediasi antara pemerintah Kuba dan Amerika Serikat pada tahun 1961 oleh Kedutaan Besar Swiss di Havana, Kuba, dan beberapa kali pertemuan yang dimediasi oleh lembaga dan asosiasi internasional seperti IATA.

Namun, dari sekian banyak proses mediasi tersebut adlaah tercapainya kesepahaman antara kedua belah pihak yang dituangkan dalam Nota Kesepahaman tentang Pembajakan Pesawat dan Kapal dan Pelanggaran Lainnya yang ditandatangani oleh Kuba dan Amerika Serikat pada 15 Februari 1973.

Isi dari dokumen tersebut antara lain adalah kedua belah pihak menyerukan ekstradisi atau hukuman bagi siapa pun yang ‘merebut, memindahkan, mengambil alih, atau mengalihkan dari rute atau kegiatan normal sebuah pesawat atau kapal’ dan mencantumkan serangkaian ketentuan bagi pencari suaka.

International Civil Aviation Organization (ICAO) pun selama masa tersebut merespon kejadian pembajakan dengan tiga konvensi besar yaitu:

  1. Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft atau Tokyo Convention yang ditanda tangani pada 14 September 1963 dan berlaku mulai 4 Desember 1969. Konvensi ini berkaitan dengan kejahatan di atas pesawat, khususnya kejahatan yang membahayakan keselamatan pesawat dan penumpangnya;
  2. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft atau Hague Convention atau juga dikenal sebagai Aircraft Hijacking Convention yang ditanda tangani pada 16 Desember 1970 dan berlaku mulai 14 Oktober 1971. Konvensi ini berkaitan dengan tindak pidana pembajakan, dengan rekomendasi bahwa pembajakan harus dijadikan tindak pidana yang dapat diekstradisi untuk semua negara anggota;
  3. Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation atau The Montreal Convention yang ditanda tangani pada 23 September 1971. Konvensi yang diadakan di Montreal, Kanada ini merupakan perjanjian multilateral dimana negara peserta setuju untuk melarang dan menghukum perilaku yang dapat mengancam keselamatan penerbangan sipil (tidak termasuk penerbangan militer dan lainnya).



Seluruh kejadian pembajakan yang terjadi selama masa tersebut, terutama yang melibatkan Kuba dan Amerika Serikat mempengaruhi hubungan diplomatik kedua negara dan juga merubah wajah dari keamanan penerbangan atau aviation security.

Salah satu hal yang mencolok dan masih kita bisa lihat dan alami pada saat ada di bandara adalah adanya pemeriksaan  penumpang dan barang melalui Walkthrough Metal-Detector dan adanya petugas keamanan atau penegak hukum yang ada di setiap security check point.

Walkthrough Metal-Detector pada masa-masa awal diperkenalkan (Sumber: www.tsi-mag.com)

 

Referensi:

  1. https://www.tsi-mag.com/the-cuban-hijackings-their-significance-and-impact-sixty-years-on/
  2. Appludnopsanji & Joko Setiyono (2020). Implementation of the International Convention Rules Concerning International Civil Aviation on Aircraft Hijacking (Ethiopian Airlines Boeing Case Study 767-300). Hang Tuah Law Jurnal.
Picture of Giovanni Pratama

Giovanni Pratama

Bagikan artikel ini di media sosial Anda:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian