Focke-Wulf FW 200 Condor: Dari Pesawat Penumpang Trans-Atlantik Menjadi Pesawat Pemburu Kapal Musuh

Photo by Airvectors.net

Airportman.id – Sejak kalah dalam Perang Dunia I tahun 1918, Jerman diharuskan untuk menandatangangi perjanjian Versailles. Dalam perjanjian tersebut Jerman harus menyerahkan semua peralatan perangnya untuk dibagi-bagikan kepada Negara Sekutu pemenang perang dan membayar sejumlah denda yang menyebabkan hyperinflasi di negara tersebut. Angkatan perang Jerman juga dilarang memiliki pesawat tempur, bomber, kapal perang untuk menghindari keinginan Jerman untuk berperang kembali.

Namun Jerman tidak begitu saja menyerah, angkatan perang mereka tetap dipersiapkan secara diam-diam. Program pengembangan teknologi untuk militer disamarkan dalam program pengembangan transportasi sipil. Beberapa diantaranya adalah pengembangan pesawat penumpang komersial Heinkel He-111 dan Focke-Wulf FW-200 Condor. Heinkel He-111 dirancang sebagai pesawat penumpang dengan jarang terbang menengah sedangkan Focke-Wulf FW-200 Condor didesain sebagai pesawat penumpang jarak jauh. Namun sebenarnya ini hanya siasat dari Jerman untuk menyembunyikan pengembangan militernya. Terbukti ketika Perang Dunia 2 pecah pada tahun 1939, kedua pesawat ini dengan cepat dikonversi menjadi senjata mematikan. Seperti serigala berbulu domba, FW-200 condor yang awalnya sebagai pesawat komersial untuk penerbangan trans-atlantik berubah menjadi pesawat pemburu kapal musuh (anti shipping attack role), pesawat intai maritim (maritime reconnaissance), bomber jarak jauh, transport militer dan fungsi militer lainnya.

Sejarah pengembangan FW-200 berawal dari keinginan negara-negara di Eropa untuk dapat terbang menuju Amerika dengan menyeberangi Samudera Atlantik. Pada awal 1930-an sudah ada pesawat amphibi (flying boat) yang melayani rute tersebut namun dianggap kurang aman karena pesawat harus refuelling di tengah Samudera Atlantik yang terkenal ganas. Pada tahun 1936 beberapa airlines di Eropa mengajukan pengadaan pesawat yang memiliki kemampuan terbang trans-atlantik. Salah satunya adalah maskapai asal Jerman yaitu Deutsche Lufthansa. Bak gayung bersambut pabrikan Focke-Wulf yang dipimpin oleh  Kurt Tank mengajukan desain FW-200 Condor yang prototipenya terbang perdana dua tahun kemudian. Mengambil rute Berlin-New York selama 20 jam terbang, FW-200 memecahkan rekor menjadi pesawat penumpang pertama yang terbang non-stop melintasi Samudera Atlantik sejauh 6.400 km pada Agustus 1938. Produksi massal pesawat ini langsung dimulai pada tahun itu juga.



Focke-Wulf FW 200 diberi nickname “condor” atau burung pemangsa bersayap lebar karena pesawat ini memiliki bentang sayap yang sangat lebar dibandingkan pesawat lain saat itu. FW-200 memiliki wingspan mencapai 32,8 meter dengan panjang fuselage 23,46 meter. Sayap yang lebar ini berguna untuk menempuh perjalanan jauh melintasi rute trans-continental dan menjadi tempat nangkring empat mesin BMW-Bramo 323R-2 dengan daya mesin 850. Hp tiap mesinnya. FW-200 memiliki kapasitas hingga 26 penumpang.

Maskapai lain yang mengoperasikan FW-200 selain Lufthansa adalah Danish Airlines. Pabrikan Focke-Wulf juga memproduksi FW-200 untuk pesawat VIP Diktator Jerman, Adolf Hitler yang diberi nama Immelman III. Namun penerbangan trans-atlantik ini belum dapat direalisasikan karena keburu Jerman memulai Perang Dunia 2. FW-200 yang sudah terlanjur dioperasikan oleh Lufthansa kemudian dialihkan untuk Luftwaffe, Angkatan Udara Jerman.

FW-200 yang ditransfer ke Luftwaffe memiliki beberapa improvisasi untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan operasi militer. Beberapa modifikasi yang dilakukan antara lain perkuatan struktur pesawat, perkuatan struktur landing gears, penambahan plat baja di tutup mesin (cowling engine), pemasangan hardpoint untuk cantelan bom hingga seberat 1.000 kg, penambahan senjata untuk bela diri seperti meriam canon MG kaliber 20mm di depan kokpit dan sebuah senapan mesin MG 15 kaliber 7,9 mm yang diletakkan di perut pesawat. Peningkatan ini kemudian diberi nama FW-200C-1.

Varian ini kemudian dikirim untuk memperkuat kampfgeschwader 40 (KG-40) yang berbasis di Bordeaux-Meignac, Prancis pada pertengahan 1940. FW 200C-1 memulai aksinya dalam Battle of Atlantic dengan menjalankan operasi pertempuran anti kapal (anti-shipping operations). Tugas yang diemban kawanan burung condor ini adalah memotong jalur suplai pasukan sekutu dengan cara menenggelamkan kapal perang dan kapal kargo milik sekutu di Samudera Atlantik. Wilayah operasi pesawat ini terentang dari Bay of Biscay, Irlandia hingga Norwegia. Hanya dalam waktu dua bulan FW-200 tercatat berhasil menenggelamkan sejumlah kapal dengan tonase total 90.000 ton dan puncaknya mencapai 363.000 ton di Februari 1941 atau setara dengan 35 kapal kargo tipe liberty ships. Begitu masifnya serangan dari FW-200 ini sampai-sampai Winston Churcill, Perdana Menteri Inggris menjulukinya “Scourge of The Atlantic”



FW 200 varian C-1 dan awak pesawat bersiap memulai operasi maritim patrol bomber untuk mencegat konvoy kapal milik sekutu. Perhatikan gambar kapal di sayap vertikal menandakan jumlah kapal yang berhasil ditenggelamkan. (Sumber: stridsminjar.is)

Dari hasil pengoperasian varian C-1 ini pabrikan Focke-Wulf dan Kementerian Perang Jerman melakukan banyak evaluasi. Hasilnya FW-200 kembali mendapatkan modifikasi perkuatan struktur, penambahan kapasitas senjata dan upgrade mesin untuk meningkatkan daya jelajah. Varian ini diberi nama FW-200 C-2 dan C-3 yang mulai diproduksi pada tahun 1941 hingga 1942. Pada tahun 1943 pesawat ini kembali mendapatkan beberapa peningkatan salah satunya dalam hal kemampuan deteksi target yaitu penambahan sebuah radar pendeteksi kapal FuG 200 Hohentwiel low-UHF-band ASV radar. Varian ini dikenal dengan FW 200 C-4. Radar ini tergolong sangat maju di jamannya dan berperan penting untuk menemukan konvoy kapal-kapal kargo sekutu yang bersembunyi di ganasnya cuaca dan ombak Samudera Atlantik. Data lokasi dan jumlah kapal yang berhasil didapat kemudian dikirimkan kepada kawanan U-boat (sebutan Jerman untuk kapal selam) yang telah menunggu di kedalaman laut untuk mengepung dan menenggelamkan iring-iringan kapal malang ini.

FW 200 varian C-4 dengan beberapa ciri khas seperti penambahan radar FuG 200 Hohentweil berbentuk tanduk rusa dan turret meriam di atas kokpit. (Sumber: German Federal Archive via Wikimedia Commons)

Berakhirnya Perang Dunia 2 dengan kekalahan Jerman maka berakhir pula FW-200 varian militer ini. Sebanyak 276 pesawat yang berhasil diproduksi periode 1938-1945 sebagian hancur dan sisanya yang selamat kemudian dibagi-bagi ke negara pemenang perang. Beberapa menjadi platform pengembangan (terutama yang memiliki radar FuG 200 Hohentweil) dan sebagian lainnya kembali menjadi pesawat penumpang sipil. Focke-Wulf FW 200 dikenang sebagai pioner dalam hal pesawat penumpang jarak jauh (long range airliner) berkemampuan lintas Atlantik dan juga sebagai pesawat patroli, pengebom dan intai maritim yang menakutkan.



Picture of Ridwan Harry

Ridwan Harry

Bagikan artikel ini di media sosial Anda:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian