Airportman.id – Menurut UU No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, dan bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya.
Kawasan yang menjadi lokasi bandara selama ini adalah daerah pantai atau permukaan bumi lainnya yang memiliki kontur yang cukup landai sehingga memenuhi persyaratan untuk digunakan sebagai bandara. Jika digunakan untuk operasional pesawat terbang sipil /komersial disebut bandar udara (airport) namun jika digunakan oleh pesawat militer disebut pangkalan udara (air base). Namun terdapat “kawasan” lain yang juga digunakan sebagai aktifitas operasional pesawat terbang seperti layaknya bandar udara yaitu kapal induk.
Kapal induk memiliki fungsi utama sebagai pangkalan udara terapung untuk menunjang kegiatan operasional beragam jenis pesawat militer. Saat ini kapal induk hanya dioperasikan oleh angkatan bersenjata dari negara maju antara lain Amerika, Inggris, Prancis, India, China dan Russia. Amerika memiliki sembilan kapal induk, Inggris memiliki dua kapal induk yang diberi nama HMS Queen Elizabeth dan HMS Price of Wales, Prancis memiliki satu kapal induk dengan nama Charles De Gaulle (sama dengan nama bandara di Paris), India memiliki satu kapal induk dengan nama INS Vikramaditya, China memiliki satu kapal induk Liaoning yang baru beroperasi tahun 2021, dan Rusia memiliki satu kapal induk saja yang diberi nama Admiral Kuznetsov.
Pesawat terbang yang dioperasikan dari kapal induk adalah pesawat militer dari jenis pesawat tempur, pesawat intai, pesawat transport, dan helikopter militer. Berbeda dengan bandara sipil yang berisi dengan pesawat terbang sipil seperti Boeing B737 hingga seri Airbus A380.
Dalam artikel ini penulis mengambil kapal induk USS Gerald R. Ford CVN 78 dari tipe Nimitz Class milik amerika dan kapal induk Admiral Kuznetsov milik Rusia sebagai contoh perbandingan dengan bandara sipil.
USS Gerald R. Ford mulai dioperasikan oleh US Navy, Angkatan Laut Amerika, pada tahun 2017. Kapal induk ini memiliki dimensi panjang 333 meter, lebar deck 77 meter, lebar lambung kapal 41 meter, dan tinggi hingga ujung radar diatas ‘island’ mencapai 75 meter. Untuk mendukung operasi lintas samudera, kapal induk ini dibekali dengan dua reaktor nuklir yang memiliki umur hingga 50 tahun (maintenance tiap 25 tahun). Dengan bahan bakar ini, CVN 78 dapat beroperasi di lautan bertahun-tahun dengan radius berlayar unlimited.
Di atas deck dan di dalam lambungnya dapat mengangkut hingga 75 lebih pesawat terbang militer dengan beragam jenis dan fungsi diantaranya F-35C Lighting II (pesawat tempur siluman), F/A-18 E/F Super Hornet (pesawat tempur serang darat dan udara), EA-18G Growler (pesawat tempur dengan fungsi perang elektronika), E-2D Advanced Hawkeye (pesawat intai), helikopter multiperan MH-60R/S , dan pesawat nirawak.
Untuk mendukung operasional kapal induk beserta seluruh pesawatnya ini, dibutuhkan tidak kurang dari 5000 kru kapal. Setiap berlayar kapal induk Amerika ini menjadi armada inti dari gugus tempur (carrier battle group) yang selalu dikawal oleh 1-2 kapal penjelajah dari jenis Ticonderoga Class (aegis guided missiles cruiser), 2-3 kapal perusak dari jenis Arleigh Burke Class (guided missiles destroyers), dua kapal induk tenaga nuklir, dan kapal suplai logistik.
Berbeda dengan kapal induk Amerika yang selalu membentuk gugus tempur setiap berlayar, kapal induk Rusia didesain lebih mandiri dengan kemampuan berlayar dengan hanya beberapa kapal perang pendamping dan kapal suplai logistik, bahkan didesain untuk mampu berlayar secara mandiri tanpa pengawalan.
Perbedaan ini disebabkan oleh konsep dasar pergelaran armada laut dari dua negara adidaya tersebut yang saling bertolak belakang. Doktrin perang laut blok barat yang diwakili oleh Amerika lebih mengutamakan kapal induk sebagai inti dari alutsista utama mereka untuk menghancurkan musuh, sedangkan blok timur Rusia lebih memilih untuk menggunakan kawanan kapal selam sebagai inti dari alutsistanya sehingga armada kapal induk Rusia didesain untuk mendukung operasional armada kapal selam mereka.
Sejak bernama Uni Soviet hingga berubah nama menjadi Rusia pada tahun 1991, tercatat Rusia hanya pernah membangun dua kapal induk (Aircraft Carrier) yaitu Admiral Kuznetskov dan Varyag (setelah perpecahan Uni Soviet kapal ini menjadi milik Ukraina). Admiral Kuznetsov saat ini menjadi satu-satunya kapal induk Rusia yang masih beroperasi sedangkan Varyag dijual ke China dan saat ini telah berganti nama menjadi Liaoning.
Admiral Flota Sovetskogo Soyuza Kuznetsov mulai dioperasikan oleh Voyenno Morskoi Flot, Angkatan Laut Rusia, pada tahun 1991. Kapal induk ini memiliki dimensi panjang 305 meter, lebar deck 72 meter, dan lebar lambung kapal 35 meter. Untuk mendukung operasi lintas samudera, kapal induk ini dibekali dengan mesin turbin uap yang dapat beroperasi hingga 45 hari.
Di atas deck dan di dalam lambung kapal dapat mengangkut hingga 18 pesawat Sukhoi Su-33 naval flanker, 6 pesawat jenis Mikoyan MIG 29K Naval Fulcrum, dan 6 helikopter jenis Kamov KA-31 Helix dan Kamov KA-27. Dengan jumlah kapasitas pesawat hanya setengah dari kapal induk Amerika, Admiral Kuznetskov hanya memerlukan 2600 kru kapal.
Di kapal induk semua aktifitas operasional pesawat terbang dapat dilakukan layaknya sebuah bandara. Mulai dari takeoff, landing, parkir di aircraft stand, taxiing, loading-unloading barang (biasanya persenjataan) atau penumpang, ramp check, isi bahan bakar, perawatan ringan hingga perawatan berat. Untuk mendukung semua kegiatan ini terdapat fasilitas pendukung yang memiliki banyak kesamaan jenis dengan bandara.
Pesawat-pesawat yang beroperasi di deck kapal induk memiliki tipikal lebar sayap kurang dari 15 meter sehingga masuk reference code A seperti Jet tempur F-18 memiliki lebar sayap 12,3 meter, MIG-29 fulcrum 11 meter, dan Sukhoi SU-33 sebesar 14,7 meter. Menurut standar yang berlaku runway dengan reference code A sekurang-kurangnya membutuhkan panjang runway minimal 800 meter. Panjang runway tersebut cukup untuk mendapatkan kecepatan minimal pesawat dengan bentang sayap kurang dari 15 meter untuk dapat lepas landas.
Namun karena keterbatasan space deck yang tersedia, kapal induk Amerika menambahkan sejenis catapult yang dapat melontarkan pesawat terbang dari kecepatan diam sampai kecepatan 150 knot hanya dalam waktu dua detik dengan panjang landasan untuk takeoff hanya berkisar 100 meter saja. Masing-masing kapal induk Amerika dilengkapi dengan empat catapult. Dengan empat catapult ini, USS Gerald R. Ford dapat meluncurkan hingga 40 pesawat tiap jamnya.
Berbeda dengan kapal induk Amerika, Admiral Kuznetsov tidak dilengkapi dengan peralatan catapult untuk meningkatkan akselerasi pesawat saat takeoff. Sebagai gantinya kapal induk ini dilengkapi dengan ski-jump deck diujung depan deck-nya. Ski-jump ini dapat meningkatkan gaya angkat dan kecepatan saat takeoff. Selain dengan bantuan catapult dan ski-jump, kapal induk akan berbelok untuk diarahkan sejajar menghadap arah angin datang untuk membantu meningkatkan daya angkat pesawat saat takeoff, terutama saat membawa muatan penuh.
Mendaratkan pesawat di deck kapal induk dikenal sebagai tahapan yang paling berbahaya dari seluruh rangkaian proses penerbangan di kapal induk. Hal ini disebabkan antara lain: panjang deck yang terbatas untuk landing, di kanan kiri area pendaratan penuh sesak dengan pesawat yang sedang parkir, jauh dari alternate runway, bahan bakar pesawat yang terbatas dan deck kapal yang selalu berayun dihempas gelombang samudera. Jika tetap gagal landing setelah melakukan go around dua kali dan bahan bakar keburu habis maka tidak ada alternatif lain selain pilot dianjurkan untuk melompat dari pesawatnya dengan kursi pelontar.
Pendaratan di siang hari saja sudah sangat menantang keterampilan dan nyali seorang pilot kapal induk terlebih lagi melakukan lepas landas dan pendaratan di malam hari. Dapat dibayangkan kesulitan yang dihadapi penerbang untuk landing di kegelapan malam hanya dipandu dengan lampu pendaratan serupa dengan PAPI (Precision Approach Path Indicator).
Di bandara pada umumnya, pilot akan mengarahkan pesawatnya untuk landing di aiming area dengan sudut dan kecepatan minimal tertentu, setelah touch down pilot akan mengurangi laju pesawat dengan menegakkan flaps kemudian masuk ke apron melalui exit taxiway yang telah ditentukan.
Pada kapal induk, pilot akan mengarahkan pesawatnya untuk landing di area seluas hanya 200 meter x 15 meter. Pesawat akan diarahkan pada area yang dilengkapi dengan bentangan empat kawat baja berjarak antar kawat baja sejauh 30 feet. Pilot akan dipandu untuk touch down sedemikian rupa sehingga dapat mengkaitkan tail hook (batang pengait) yang ada di buritan pesawat ke salah satu dari empat kawat baja tersebut.
Berbeda dengan pendaratan di bandara di darat dimana pilot akan mengurangi laju pesawat dengan reverse trust, menegakkan flaps dll, di kapal induk begitu pesawat berhasil touch down pilot malah akan menambah kecepatan. Hal ini bertujuan jika tail hook tidak terkait ke salah satu dari empat kawat baja maka pesawat akan kembali take off dan mengulang proses pendaratan dari awal. Jika tail hook berhasil tersangkut maka laju pesawat akan tertahan hingga berhenti dalam jarak tidak lebih dari 100 meter saja.
(Bersambung ke part 2)
Airportman.id adalah sebuah platform media online. Apa yang membuat kami berbeda dengan platform lain adalah kami berfokus pada dunia bandar udara. Komitmen kami adalah untuk memberikan edukasi dan informasi tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan industri, teknologi, ekosistem maupun kegiatan di bandar udara. Airportman.id juga menjadi wadah untuk berdiskusi, menyampaikan uneg-uneg, pendapat, kritik, saran maupun gagasan yang membangun untuk memajukan dunia kebandarudaraan di Indonesia dan dunia.