Unknown"A mile of highway will take you just one mile, but a mile of runway will take you everywhere!”
Airportman.id – Quote yang cukup dikenal di dunia aviasi ini menggambarkan peran strategis dari bandar udara dan runway-nya. Dengan runway atau landas pacu ini pesawat terbang dapat mengantarkan penumpang pesawat hingga ke belahan dunia manapun. Dengan runway Bandara Soekarno-Hatta (CGK) sepanjang 3.600 meter, Boeing B777-300ER Garuda Indonesia dapat terbang menuju Amsterdam sejauh lebih dari 15.000 km atau 14 jam penerbangan. Dengan runway ini kita dapat menghubungkan dan membangun Indonesia yang terentang lebih dari 17.000 pulau. Contohnya di Papua, ujung timur wilayah Indonesia. Runway di Papua adalah awal mula pembangunan dan katalis pertumbuhan di sana. Saat ini terdapat tidak kurang dari 80 bandara di Papua sambung menyambung membawa berbagai jenis kebutuhan hidup kita (KM 166 tahun 2019).
Runway juga memiliki peran yang sangat strategis saat peperangan. Pada Perang Dunia Kedua (PD2) di Asia Pasifik ketika Amerika Serikat (AS) menyerbu habis-habisan Pulau Iwojima untuk merebut pangkalan udara disana. Di kemudian hari, dari pangkalan udara ini bomber-bomber AS secara leluasa menghantam kota-kota di Jepang untuk mempercepat berakhirnya PD2 teater Asia Pasifik. Peran strategis runway inilah yang menjadi latar belakang penulisan artikel ini. Di Artikel ini kita akan membahas secara singkat tentang perencanaan dan perancangan runway/landas pacu untuk bandara baru.
Menurut KP 326 tahun 2019 tentang Standar Teknis dan Operasional Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 139, runway atau landas pacu adalah daerah persegi yang telah ditentukan di bandar udara untuk pendaratan atau lepas landas pesawat. Rujukan peraturan terkait desain runway yang dapat kita gunakan selain KP 326 tahun 2019, antara lain Airport Development Reference Manual dari IATA (versi terbaru edition 11th tahun 2019) dan Doc 9157 Aerodrome Design Manual dari ICAO.
Ketika merencanakan sebuah runway hal-hal yang menjadi pertimbangan antara lain : critical aircraft yang akan beroperasi di runway tersebut, data windrose, data kondisi lahan, ketersediaan ruang udara dll. Untuk kelengkapan fasilitas lain seperti exit taxiway, rapid exit taxiway, dan alat bantu pendaratan ditentukan salah satunya oleh data rencana peak hour/jam sibuk pergerakan pesawat per jam selama 25 tahun kedepan. Forecast ini akan mempengaruhi perlu atau tidaknya fasilitas ini dibangun dan kapan waktu yang tepat untuk membangunnya.
Critical aircraft adalah jenis pesawat terbesar yang beroperasi di runway ini atau dapat juga pesawat yang akan sering menggunakan runway. Jenis pesawat ini akan mempengaruhi kebutuhan panjang dan kekuatan runway, ukuran airstrip, dll. Pada umumnya untuk bandara besar atau bandara pengumpul dapat mengakomodasi pergerakan pesawat jenis wide body diantaranya Airbus A330, Boeing B777-300ER atau Airbus A380-800. Untuk bandara kecil atau bandara pengumpan dapat menggunakan pesawat narrow body seperti ATR-72 atau Boeing B737 series.
Windrose adalah diagram yang menampilkan arah angin pada sebuah lokasi dengan periode tertentu dan dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui besarnya kecepatan angin dan presentasenya. Data windrose ini digunakan sebagai acuan untuk menentukan arah runway.
Minimal 95% dari arah angin selama lima tahun berturut-turut dapat dijadikan acuan untuk arah runway. Jika dalam kurun waktu pengambilan data terdapat dua arah yang dominan (misal 40% ke timur-barat dan 60% ke utara-selatan) maka diperlukan dua buah runway dengan arah yang berbeda. Data ini dikumpulkan selama kurun waktu minimal lima tahun.
Secara umum angin di Indonesia terbagi menjadi angin muson timur dan angin muson barat. Dari peta arah angin ini dapat kita simpulkan secara umum arah runway di pulau Jawa dan Bali didominasi dari timur ke barat seperti Bandara DPS dengan nomor runway 09-27, SOC 08-26, YIA 11-29, CGK 07-25, SUB 10-28 dll. Sedangkan arah runway di Sulawesi dan sekitarnya pada umumnya dari utara ke selatan misalnya UPG 03-21 dan MDC 18-36.
Data kondisi lahan juga perlu untuk dianalisa seperti nilai CBR (minimal 6%), ketinggian (feet), suhu (derajat celcius), dan kemiringan runway/perbedaan ketinggian antara dua treshold runway (dalam %). Ketersediaan ruang udara di sekitar runway baru juga tidak kurang penting. Sekurang-kurangnya dalam radius 15 km seperti radius KKOP (Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan) sebaiknya tidak bersinggungan dengan KKOP bandara terdekat. Juga perlu diperhatikan obstacle di radius tersebut apakah aman jika diatasnya dilalui oleh manuver pesawat ketika akan landing dan setelah take off.
Tahapan dari perencanaan runway adalah menetapkan critical aircarft terbesar untuk setiap tahap pengembangan bandara. Critical aircraft ini berguna untuk menentukan dimensi runway dan kapan waktu yang tepat untuk melakukan perpanjangan runway. Selain itu adalah menentukan peak hour/jam sibuk pergerakan pesawat selama 25 tahun kedepan. Dari peak hour ini kita dapat menentukan pada tahap berapa kita perlu membangun parallel taxiway, rapid exit taxiway, dan kapan diperlukan perpanjangan runway bahkan kapan kita perlu menambah runway kedua dst. Berikutnya adalah perencanaan terkait marka, lampu-lampu di runway dan alat bantu pendaratan yang berguna untuk memandu proses pendaratan pesawat secara aman dan nyaman.
Sebagai contoh jika dalam 25 tahun ke depan sejak bandara dioperasikan, terdapat prediksi pertumbuhan peak hour pergerakan pesawat sebagai berikut: tahap 1 selama 10 tahun pertama peak hour mencapai 15 pergerakan per jam, tahap 2 antara 11-20 tahun sejak pengoperasian adalah 25 pergerakan per jam, dan tahap 3 adalah 35 pergerakan per jam. Dengan critical aircraft tahap 1 sampai tahap 2 adalah Airbus A330-300, dan tahap 3 adalah Boeing B777-300ER. Forecast pertumbuhan pergerakan pesawat ini dilakukan saat penyusunan studi kelayakan pengembangan bandara baru atau studi Rencana Induk Bandara.
Dari data diatas maka dimensi lebar runway minimal adalah 45 meter dengan paved shoulder masing-masing sisi 7,5 meter karena wingspan A330 adalah 60,3 meter dan B777 sebesar 64,8 meter.
Pada tahap 1 terdapat 15 pergerakan pesawat per jam. Jika diasumsikan pergerakan pesawat saat landing dan take off di runway kurang dari empat menit/pesawat maka tidak perlu dibangun parallel taxiway ditahap ini. Pada tahap 2 pergerakan pesawat tumbuh menjadi 25 movement/jam maka di tahap ini perlu dibangun parallel taxiway. Tahap 2 ini rata-rata pergerakan pesawat di runway adalah 2 menit 24 detik sehingga dibutuhkan parallel taxiway dengan taxiway perpendicular pada titik-titik dimana pesawat dapat berbelok keluar runway dengan kecepatan sekitar 15 knot. Di tahap berikutnya pergerakan pesawat mencapai lebih dari 30 pergerakan per jam atau 2 menit per pesawat sehingga diperlukan rapid exit taxiway dari dua sisi. Namun jika bandara baru ini merupakan pindahan dari bandara lama yang sudah memiliki pergerakan pesawat yang cukup tinggi seperti 20 pergerakan lebih maka sebaiknya di tahap 1 langsung dibangun fasilitas parallel taxiway dan RET.
Critical aircraft yang berbeda di masing-masing tahap akan menentukan panjang runway yang perlu dibangun. Di tahap 1 dan 2 kebutuhan panjang runway untuk mengakomodaasi pesawat terbesar Airbus A330 dan di tahap 3 (di tahun ke 20 sejak pengoperasian bandara) perlu dilakukan perpanjangan runway untuk mengakomodasi pesawat jenis Boeing B777-300ER. Jika dalam studi kelayakan perencanaan bandara baru pada tahap tertentu jumlah pergerakan per jam lebih dari 35-40 movement/jam misal sampai 70 movement/jam maka diperlukan pembangunan runway kedua.
Menghitung panjang runway aktual yang dibutuhkan selain jenis pesawat terbesar juga data tinggi runway, suhu dan kemiringan. Data ini akan menjadi faktor koreksi dari panjang runway dari data ARFL (Aeroplane Reference Field Length) dari pesawat terbesar. Pada umumnya semakin tinggi runway atau semakin panas suhunya maka dengan pesawat yang sama membutuhkan runway yang lebih panjang.
Kekuatan runway yang dinyatakan dalam nilai PCN (Pavement Classification Number) sebaiknya lebih besar dari ACN (Aircraft Classification Number) pesawat terbesar yang beroperasi. Untuk pesawat jenis Boeing B777-300ER sekurang-kurangnya membutuhkan PCN dengan kekuatan 86/F/C/X/T jika kondisi tanah dengan CBR 6%, subgrade perkerasan fleksibel, dan pesawat tidak dalam kondisi MTOW. Jika dalam rencana pengoperasian critical aircraft terdapat jenis pesawat yang berbeda di tiap tahapan pengembangan bandara maka pesawat terbesarlah yang menjadi rujukan untuk desain kekuatan runway.
Airportman.id adalah sebuah platform media online. Apa yang membuat kami berbeda dengan platform lain adalah kami berfokus pada dunia bandar udara. Komitmen kami adalah untuk memberikan edukasi dan informasi tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan industri, teknologi, ekosistem maupun kegiatan di bandar udara. Airportman.id juga menjadi wadah untuk berdiskusi, menyampaikan uneg-uneg, pendapat, kritik, saran maupun gagasan yang membangun untuk memajukan dunia kebandarudaraan di Indonesia dan dunia.