Bandara dan Pangkalan Udara

Photo by Rudy and Peter Skitterians

Airportman.id – Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 1/Tahun 2009 tentang Penerbangan dijelaskan bahwa Bandar Udara (Bandara) adalah kawasan di daratan dan/atau di perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya.

Sementara Pangkalan Udara (Lanud) adalah kawasan di daratan dan/atau di perairan dengan batas-batas tertentu dalam wilayah Republik Indonesia yang digunakan sebagai tempat untuk kegiatan lepas landas dan pendaratan pesawat udara guna keperluan pertahanan udara oleh TNI.

Dari kedua definisi tersebut dapat dimengerti dengan jelas bahwa Bandara dan Lanud sebenarnya merujuk kepada suatu kawasan (area) dengan batas-batas tertentu, yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang hampir sama.

Perbedaannya hanya terletak pada fungsi masing-masing, dimana fungsi bandara adalah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya, sementara fungsi Lanud lebih mengutamakan kepada perwujudan pertahanan/keamanan Negara yang solid.

Dengan demikian maka fasilitas Lanud, selain fasilitas dasar sebuah bandara, dilengkapi lagi dengan fasilitas-fasilitas penunjang lain seperti peralatan bongkar muat peralatan militer serta logistik perang lainnya. 



Sejarah tentang keberadaan Lanud di Indonesia seperti tertera di dalam buku “Perjuangan AURI 1945-1950” yang ditulis oleh ibu Irna Henny Hastoeti dkk., terbitan Yayasan Obor Indonesia tahun 2008, berasal dari lapangan-lapangan terbang yang dibangun oleh pemerintah Belanda sebelum Indonesia merdeka. Dalam buku tersebut antara lain menyebutkan bahwa secara umum hampir seluruh lapangan terbang yang dibangun oleh pemerintah Kolonial Belanda diutamakan untuk kepentingan militer.

Lapangan terbang Kalijati, Subang merupakan lapangan terbang yang pertama dibangun oleh pemerintah Belanda pada tahun 1914, kemudian lapangan terbang Tjililitan, Batavia pada tahun 1920, lapangan terbang Andir di Bandung pada tahun 1921 dan lapangan terbang Polonia, Medan pada tahun 1928. Lapangan terbang Mandai di Makassar dibangun pada tahun 1937, lapangan terbang Maguwo di Jogya, lapangan terbang Panasan di Surakarta pada tahun 1938 dan 1940, serta beberapa lapangan terbang di luar pulau Jawa sepertI lapangan terbang Tabing di Padang, Talang Betutu di Palembang, lapangan tebang Penfui di Kupang. Satu-satunya lapangan terbang yang dibangun pemerintah Belanda untuk kepentingan komersil hanyalah lapangan terbang Kemayoran.

Oleh sebab itu, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh pemerintah Belanda melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949, penyerahan aset-aset Belanda antara lain yang terdiri dari lapangan terbang, pesawat-pesawat terbang beserta hangar dan fasilitas pendukung penerbangan lainnya termasuk Markas Besarnya yang saat itu terletak di Jl. Merdeka Barat diserahkan oleh pihak Belanda yang diwakili oleh Militaire Luchtvaart kepada pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Angkatan Udara Republik Indonesia Serikat (AURIS) ketika itu.



Kisah perjalanan AURI hingga tahun 1950 dapat dikatakan seolah-olah “jalan ditempat” karena hanya mengelola kekuatan utamanya saat itu berupa pesawat-pesawat bekas peninggalan Jepang seperti pesawat Cureng, Cukiu, Nishikoreng, Guntai, Sansikisu dan Hayabusha. Pesawat yang berhasil diperbaiki digunakan untuk mengunjungi beberapa pangkalan Udara yang berada di pulau Jawa guna mengobarkan semangat juang masayarakat serta sekadar menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah Angkatan sejajar dengan Angkatan lain.

Baru setelah menerima dari pemerintah Belanda, sejak bulan Mei, Juni dan Juli tahun 1950 kekuatan AURI mulai bertambah dengan beberapa pesawat jenis tempur P-51 Mustang, beberapa pesawat terbang jenis pembom B-25 Mitchel dan B-26 Invader, sejumlah pesawat terbang jenis Angkut C-47 Dakota, pesawat latih L-4J Piper Cub, pesawat Latih tempur AT-16 Harvard, serta beberapa pesawat Amphibi Albatros dan PBY Catalina.

Sejarah Penerbangan komersil sendiri baru dirintis oleh pemerintah Belanda sejak tahun 1928 dengan mencoba peruntungan untuk menjalankan penerbangan komersil dengan mendirikan sebuah maskapai Belanda bernama Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) yang merupakan anak perusahaan KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij) di Negeri Belanda.

Untuk kelancaran operasional penerbangan komersilnya, pemerintah Belanda lalu membangun lapangan terbang Kemayoran pada tahun 1934. Kemudian, pada tahun 1950 pemerintah Indonesia mendirikan perusahaan penerbangan niaga bernama “Garuda Indonesia Airways” (GIA), sebuah perusahaan penerbangan niaga nasional pertama setelah Indonesia merdeka, dan memanfaatkan lapangan terbang Kemayoran sebagai “home base”nya.

Hingga menjelang pertengahan tahun 1960 maskapai penerbangan komersil bertumbuh dan berkembang dengan sangat pesat, Garuda Indonesia Airways disusul oleh Merpati Nusantara Airlines, Mandala Airlines, Pelita Air Servise dan Sempati yang selanjutnya disusul dengan beberapa maskapai penerbangan komersil lainnya.

Dengan demikian, lapangan terbang Kemayoran sudah tidak mampu menampung jumlah pesawat terbang dari seluruh maskapai-maskapai penerbangan komersil tersebut, termasuk juga lapangan terbang kota tujuannya seperti kota-kota yang berada di pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan lain sebagainya.



Sementara AURI pada era tersebut belum mampu menambah kekuatan armada pesawat terbangnya dengan alasan kemampuan keuangan Negara, walaupun ada penambahan tidaklah terlalu signifikan sehingga ketersediaan lapangan terbang yang jumlahnya cukup banyak belum secara optimal dimanfaatkan penggunaannya oleh AURI.

Disamping itu biaya pemeliharaan, perawatan serta pengembangan sebuah lapangan terbang juga cukup mahal, sehingga dapat disimpulkan ketika itu maskapai penerbangan komersial kekurangan kawasan ruang gerak operasional armadanya, sementara AURI kelebihan kawasan ruang gerak operasional armada kekuatan udaranya.

Akhirnya muncul gagasan yang diprakarsai Menteri Perhubungan dalam hal ini Direktorat Jendral Perhubungan Udara untuk memanfaatkan beberapa pangkalan udara sebagai penambah kawasan gerak penerbangan komersil dengan membangunnya sesuai standar bandara.

Melalui MOU (Memorandum of Understanding) dan kesepakatan dengan pihak AURI muncullah istilah “bandara enclave sipil” dan bandara enclave militer”. Pengertian “enclave” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah terkunci atau terkurung. Dicontohkan enclave negara, bagian atau seluruh negara yang dikelilingi oleh suatu negara lain.

Bandara enclave sipil, adalah bandar udara sipil dalam kawasan militer, sementara pengertian bandara enclave militer, adalah pangkalan udara militer yang berada dalam kawasan bandar udara sipil.

Beberapa bandar udara sipil yang ada sekarang aslinya adalah Lanud Militer seperti Lanud Adisucipto Yogyakarta, Lanud Adi Soemarmo Surakarta, Lanud Husein Sastranegara Bandung, Lanud Supadio Pontianak, dan Lanud Hasanuddin Makassar dan beberapa Lanud yang tersebar di pulau Sumatra dan Kalimantan.



Direktorat Jendral Perhubungan Udara melalui perangkat PT. Angkasa Pura I & II mengadakan pembangunan dan pengembangan segala fasilitas agar memenuhi persyaratan standar sebagai sebuah bandar udara, baik yang berkelas domestik maupun internasional sehingga dalam pengoperasian sehari-hari pihak penerbangan sipil kelihatan lebih dominan dari pada pihak militer. Lama kelamaan pengertian antara bandara enclave sipil dengan bandara enclave militer menjadi kabur, mana tuan rumah, mana tamu menjadi tidak jelas.

Oleh sebab itu, kalau kita cermati di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 1/Tahun 2009 tentang Penerbangan, istilah “enclave sipil” dan “enclave militer” tidak kita temukan baik di batang tubuh maupun di dalam penjelasannya.

Di dalam Bab XI tentang Kebandarudaraan, pada Bagian Ketiga Belas perihal “Penggunaan Bersama bandara dan Pangkalan Udara (Lanud)”. Yang dimaksud dengan Lanud disini adalah Pangkalan Udara Militer (AU, AD dan AL), meskipun yang terbanyak adalah Pangkalan Udara TNI-AU. Pasal 259 Bab XI ini berbunyi “Bandar Udara dan Pangkalan Udara yang digunakan secara bersama ditetapkan dengan Keputusan Presiden”. Pasal ini merupakan pasal yang terpenting apabila kita berbicara tentang penggunaan bersama Bandar udara dan pangkalan udara, karena merupakan dasar sekaligus sebagai payung hukum segala bentuk kerja sama selanjutnya.

Selama ini yang mendasari penggunaan bersama Bandara dan Lanud antara pihak penerbangan sipil, dalam hal ini Kementerian Perhubungan diwakili oleh PT. Angkasa Pura I & II dengan pihak institusi militer, hanyalah Nota Kesepahaman atau MOU saja yang sama sekali belum mempunyai kekuatan hukum. Karenanya, dalam implementasinya para pihak masih berpijak hanya pada kepentingan masing-masing. Barangkali ini merupakan salah satu penyebab terjadinya keributan tentang penggunaan bersama Lanud Halim Perdanakusuma.

Apabila sudah ada payung hukumnya, maka para pihak akan hanya berpijak pada, dan berangkat dari platform yang sama, yaitu kepentingan Nasional, karena pertumbuhan ekonomi adalah kepentingan nasional, pertahanan keamanan Negara adalah juga kepentingan nasional. Kawasan bandara dan kawasan Lanud adalah milik Negara, para pihak hanya sebagai pengguna (hak guna).



MOU atau Nota Kesepahaman tetap diperlukan, akan tetapi haruslah ditindak lanjuti dengan suatu perjanjian (agreement) dimana dijelaskan segala seluk beluk tata laku para pihak dalam pengelolaan bandara bersama, hak dan kewajiban para pihak, termasuk masa berlakunya “agreement”, dan lain sebagainya.

Beberapa point yang perlu ditegaskan di dalam “agreement”, antara lain:

  1. SOP pengoperasian bandara, baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan darurat nasional ataupun keadaan perang;
  2. Pengelolaan bandara yang digunakan secara bersama;
  3. Pemeliharaan dan perawatan bandara dan fasilitas bandara, termasuk runway;
  4. Sistem pengamanan dan keselamatan operasi penerbangan;
  5. Sistem pengendalian pergerakan lalu lintas udara dan darat (ground movement);
  6. Komposisi personil yang bertugas di “airside” dan di “landside”;
  7. Lisensi (sertifikat kompetensi) dan persyaratannya;
  8. Dan lain sebagainya, termasuk pembagian profit, bila ada.

Dengan dasar payung hukum, baik berupa Surat Keputusan Presiden ataupun Peraturan Presiden, serta mengedepankan kepentingan nasional, para pihak akan lebih leluasa dalam mengembangkan ketentuan/aturan main dalam bentuk perjanjian kerja sama (”agreement”) yang saling menguntungkan pihak-pihak terkait.

Tjokong Tarigan Sibero

Tjokong Tarigan Sibero

Lulusan AAU-64. Pensiunan yang masih gemar menulis. Penulis buku 50 Tahun Hercules. Dan Lanud Halim Perdanakusuma 1989-1990.

Bagikan artikel ini di media sosial Anda:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian