Malu Bertanya, Sesat di Bandara

Airportman.idKonon, transportasi angkutan udara dikenal sebagai moda transportasi yang paling menjamin keamanan dan keselamatan penggunanya. Ya tentu saja, wong serangkaian proses yang panjang dan terkadang melelahkan itu apalagi kalau bukan terkait prosedur jaminan keamanan dan keselamatan. Jadi bukan karena prestisiusnya, melainkan lika-liku proses yang harus dilalui para pengguna jasanya berbeda dengan sarana transportasi lain. Tak ada jalan pintas di bandara, kecuali kalian tikus-tikus got yang dengan mudah menelusuri becek dan kotornya saluran hingga ke area sisi udara, tempat di mana sebuah pesawat hendak diterbangkan atau didaratkan. Sekian banyak proses itu dimulai dengan pembelian tiket penumpang pesawat udara, kemudian datang ke Bandara untuk melaporkan manifes penerbangannya (check in) hingga diperoleh dokumen (boarding pass) yang berisi detail jadwal dan nomor penerbangan beserta maskapai yang digunakan, nomor kursi, hingga pintu keberangkatan (boarding gate) yang mana harus dilalui untuk memasuki pesawat, dilanjutkan dengan serangkaian proses pemeriksaan standar keamanan diri serta barang bawaan (security check point), lalu menuju sebuah ruang (boarding lounge) untuk menunggu giliran panggilan penerbangan (boarding), hingga pesawat lepas landas (take off) dan kemudian mendarat (landing) dengan selamat di bandara tujuan yang biasanya, kalau beruntung akan diiringi pantun kalau pesawatnya Citilink. Tanpa disadari, setiap penumpang pesawat telah melewati  fasilitas–fasilitas yang menjadi standar mutlak suatu infrastruktur disebut sebagai Bandar Udara. Secara teknis fasilitas bandara digolongkan menjadi dua: Fasilitas Pokok dan Fasilitas Penunjang. Sedangkan fasilitas pokok terdiri dari : Fasilitas Keamanan dan Keselamatan Penerbangan, Fasilitas Sisi Udara, dan Fasilitas Sisi Darat. Nah, di fasilitas sisi darat inilah para penumpang pesawat akan lebih sering menciptkan pengalaman-pengalamannya sendiri. Di antara fasilitas sisi darat, terdapat Bangunan Terminal Penumpang. Di dalamnya ada Rambu penunjuk arah dan informasi, yang terkadang orang sering lupa membacanya  kebingungan tidak membacanya. Mengenal Rambu Petunjuk dan Informasi Konsep munculnya rambu petunjuk dan informasi, atau istilah beken di kalangan Airportman dikenal sebagai signage, berawal dari sebuah istilah wayfinding. Paul Arthur dikenal sebagai salah seroang pelopornya. Akan tetapi, dalam bukunya, Wayfinding, People, Sign, and Architecture, Ia menegaskan bahwa Kevin Lynch-lah, Arsitek Amerika, yang pertama kali menggunakan istilah tersebut dalam bukunya The Image of The City pada tahun 1960-an. Lynch mendeskripsikan sebuah peta, nomor jalan, rambu rute, dan sebagainya, yang didasarkan pada konsep orientasi spasial dan prasyarat lainnya yang ia sebut sebagai sebuah “image”. Melaui konsep inilah peranan sebuah image menjadi penting bagi orang-orang untuk mengetahui keberadaan mereka dan menemukan jalan yang dikehendaki. Di sisi lain, Paul Arthur mendeskripsikan pola pikirnya bahwa terdapat perbedaan yang meragukan saat masalah komunikasi, tempat, arah, dan kawasan dalam suatu lingkungan itu tidak harus selalu didekati secara verbal, namun dapat didekati dengan menempatkan suatu tanda (sign). Dari situlah kata signage muncul. Di Bandar Udara, signage merupakan salah satu fasilitas yang wajib ada dan terstandarisasi. Signage merupakan produk dari disiplin keilmuan Environmental Graphic Design (EGD), yang merupakan kombinasi dari pelbagai keilmuan : Arsitektur, Interior, Desain dan Komunikasi. Ia harus menjadi pemandu para pengguna jasa bandara sejelas-jelasnya sejak seseorang masuk gerbang bandara (toll gate) asal hingga keluar dari gerbang bandara tujuan. Signage merupakan media interaksi antara manusia dengan lingkungan sekitarnya. Secara prinsip, suatu signage harus mudah dimengerti oleh penggunanya melalui pemilihan tipografi, pemilihan warna dan iluminasi serta grafis yang komunikatif. Secara standar ia harus mengikuti separangkat aturan yang diterbitkan Kementrian Perhubungan, misalnya terkait aspek keterbacaan, kategori rambu, pemilihan material, serta penempatan dan jarak pandang. Sudah Ada Rambu, Tapi Masih Kebingungan Konsep Silent Airport (Bandara Yang Diam?) pernah bergaung. Ide yang diusung bagaimana bandara dapat mengurangi kebisingan dari segala bentuk pengumuman yang bersumber dari suara. Coba bayangkan saat kita berada di sebuah lokasi dan situasi yang baru dan kompleks dan tak tahu arah jalan pulang, tentunya yang dibutuhkan adalah suatu tanda yang dapat menginformasikan seseorang berada di mana bersama siapa berbuat apa, dan untuk menemukan jalan yang ingin dikehendaki ia harus melalui jalan yang mana. Begitu banyaknya tanda informasi tersebut, namun masih saja ada yang kebingungan saat di bandara. Bisa jadi yang kebingungan itu mereka yang baru pertama kali datang ke bandara. Berhadapan dengan lingkungan baru yang sama sekali tak dikenalinya, harus melalui sekian banyak proses, mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera yang melelahkan, atau kebingungan membaca rambu petunjuk informasi yang terkadang berkamuflase dengan papan iklan, atau memang kurangnya tanda dan informasi tersebut, atau karena penempatan tanda petunjuk yang kurang tepat, atau konten simbol dan teks dari petunjuk informasinya yang sulit dipahami, atau memang sudah menjadi jati diri sebuah bangsa serta kesadaran penuh akan makna dan pengamalan suatu peribahasa bahwa: malu bertanya, sesat di bandara.
M. Iskandar Farid

M. Iskandar Farid

Bagikan artikel ini di media sosial Anda:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian