Memperbincangkan Eco Airport

Photo by Denver Airport

“While airports provide access to transportation for millions of people each day, aircraft noise can be disruptive to communities”-GAO 22-105844 Aircraft Noise : FAA Should Improve Efforts to Address Community Concerns.

Airportman.idSuatu ketika ada seorang mahasiswa jurusan Teknik Dirgantara magang di sebuah Bandara. Ia ingin mengusung gagasan eco airport sebagai topik skripsinya. Tapi entah apa yang ada dibenaknya tentang eco airport itu. Bagi saya, ­eco airport bukanlah konsep, ia adalah strategi penyelamatan lingkungan yang disumbangkan oleh industri kebandarudaraan. Kita bisa sepakat untuk tidak sepakat akan hal ini.

Pada kurun waktu tertentu, saya pernah sangat intens melakukan kerja-kerja lingkungan kebandarudaraan. Tentunya karena menjadi jobdesc sebagai personel bandara. Meskipun hal tersebut dapat dikatakan sebatas formalitas pemenuhan administrasi. Ibarat orang ibadah, hanya sebatas menggugurkan kewajiban. Belum mencapai maqom hakikat penghambaan terhadap Tuhan. Belum menikmati esensi penghambaan. Serta belum menemu-kenali nikmatnya bercengkerama kepada Sang Penciptanya. Meminjam istilah Gus Mus, rasa syukur itu dapat terejawantahkan melalui kesadaran penerimaan akan anugerah dan kenikmatan yang diberi Tuhan pada makhluknya. Kerja-kerja lingkungan yang dilakukan masih sebatas syariat, belum makrifat.



Tapi memang, kerja-kerja pengelolaan lingkungan bagian dari pemenuhan administrasi belaka. Pemenuhan janji-janji dokumentatif pada dokumen pengelolaan lingkungan. Ada banyak parameter dan indikator yang ditarget untuk dapat digugurkan batas-batas negatifnya sehingga terhindar dari sanksi. Salah dua diantaranya ialah parameter kualitas udara dan kebisingan. Lebih kompleksnya, pengelolaan lingkungan bukan semata-semata persoalan penghijauan tatanan kebandarudaraan, melainkan tatanan kehidupan berikut seluk-beluk yang mengekor akibat dampak industrinya. Ada parameter sosial, ekonomi dan juga kebudayaan yang mau tidak mau, serta secara langsung atau tidak menjadi bagian tak terelakkan dari jangkauan pengelolaan lingkungan kebandarudaraan.

Sehingga pada titik-titik tertentu, saya dapat menyimpulkan bahwa eco airport bukanlah sebuah konsep, melainkan strategi. Dan setiap bandara memiliki caranya masing-masing. Sesuai kulturnya. Sesuai kapasitasnya. Dan yang paling penting sesuai kemauannya. Hal terakhir akan menjadi pertimbangan nilai manfaat dan bisnis terhadap kerja-kerja pengelolaan lingkungan yang dilakukan. Aktifitasnya tidak gratis. Juga tak bisa dilakukan secara individu dalam kapasitas organisasi. Harus melibatkan banyak pihak. Kita bisa mengambil contoh Narita International Airport misalnya, sebagai bandara pertama di Jepang yang memperoleh Level 3 Airport Carbon Accreditation pada tahun 2018 yang menerapkan landing charge system berbasis index kebisingan sebuah pesawat yang diatur dalam dokumen ICAO Annex 16. Sebuah upaya mendorong kerja bersama dalam mengatasi isu kebisingan yang dihasilkan suara engine pesawat. Dan pada titik yang sama, ia juga diharapkan dapat mengurangi produki emisi CO2 melalui pesawat-pesawat dengan teknologi terbarukan yang menurunkan level kebisingan suara mesin.

Seperti kalimat pembuka di atas, bahwa bandara sebagai prasarana transportasi telah telah digunakan oleh jutaan penduduk bumi per hari, serta sekian banyak sumber daya alam yang digunakan. Pada sisi lain, sarana transportasi yang beroperasi di bandara telah menyumbangkan polusi suara dan udara bagi masyarakat sekitar, dan mungkin pula dampaknya secara global dalam jangka panjang. Kiranya menjadi agak tepat bahwa wacana eco airport bukanlah  sekadar konsep bandara yang dapat beramah-tamah terhadap lingkungan hidup, melainkan strategi balas budi yang memang harus diimplementasikan untuk menjaga, melestarikan dan menyeimbangkan tatanan lingkungan hidup.



M. Iskandar Farid

M. Iskandar Farid

Bagikan artikel ini di media sosial Anda:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian