Mengenal Jenis Helikopter di Indonesia dan Dasar-Dasar Perencanaan Heliport

Photo by SPACEDEZERT on Unsplash

Airportman.id – Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KP 215 Tahun 2019 tentang Standar Teknis dan Operasional Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 139 Volume II Tempat Pendaratan dan Lepas Landas Helikopter, Heliport adalah tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di daratan (surface level heliport), di atas gedung (elevated heliport) dianjungan lepas pantai/kapal (helideck), dan di deck kapal laut (shipboard heliport).

Surface Level Heliport adalah sebuah heliport yang berlokasi di atas permukaan tanah atau struktur yang berada dipermukaan air. Elevated Heliport adalah sebuah heliport yang berlokasi di atas struktur bangunan di atas tanah. Helideck adalah heliport yang terletak di fasilitas tetap atau mengambang lepas pantai seperti unit eksplorasi dan/atau produksi yang digunakan untuk eksploitasi minyak atau gas. Shipboard Heliport Purpose adalah sebuah heliport yang terletak di kapal yang dapat dipersiapkan (purpose) atau yang tidak dipersiapkan (non-purpose). Sebuah shipboard yang dipersiapkan (purpose) adalah salah satu yang dirancang khusus untuk operasi helikopter. 

Sebelum membahas lebih lanjut tentang heliport perlu kita ketahui secara singkat jenis helikopter yang beroperasi di Indonesia. Pengetahuan tentang helikopter khususnya yang beroperasi di Indonesia menjadi penting ketika akan mendesain sebuah heliport.



Menurut penggunanya, helikopter di Indonesia dan negara-negara lain di dunia dibagi menjadi dua jenis yaitu helikopter sipil dan helikopter militer. Helikopter sipil digunakan oleh Kepolisian Republik Indonesia, Basarnas, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), dan perusahaan milik swasta.

Helikopter militer sesuai dengan namanya digunakan oleh TNI Angkatan Udara, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Darat. Helikopter yang digunakan oleh Polisi Republik Indonesia antara lain: NBO105, Enstrom 480B, Mil Mi-2, Eurocopter AS-365 Dauphin, Bell B-206 Jet Ranger, Nbell-412 dan Bell B-429, dll.

Helicopter NBO-105 milik Polisi RI (Sumber: Adil Pratama)

Helikopter yang dioperasikan oleh Basarnas antara lain Eurocopter AS-365 Dauphin dan NBO-105 buatan IPTN. Untuk mendukung misi penyelamatan SAR maka helikopter ini dilengkapi dengan hoist/katrol untuk mengangkat tandu.

Eurocopter AS-365 Dauphin milik Basarnas (Sumber: Basarnas)

Helikopter yang dioperasikan oleh BNPB salah satunya adalah tipe Kamov KA-32 Helix buatan Rusia. Helikopter ini disewa dari Rusia untuk membantu operasi pemadaman kebakaran hutan di daerah Sumatera. Untuk misi ini KA-32 Helix dilengkapi bambi bucket air seberat hingga lima ton. Berbeda dengan desain heli pada umumnya yang memiliki rotor vertikal diatas untuk berbelok dan mengurangi spin akibat putaran yang kuat dari rotor utama, helikopter ini menggunakan 2 set rotor yang saling bertumpuk dengan arah putaran yang berlawan /koaksial.

Kamov KA-32 Helix yang dioperasikan BNPB (Sumber: www.airspace-review.com)

Helikopter yang dioperasikan oleh perusahaan swasta lebih beragam tipe dan dimensinya. Di Indonesia saat ini terdapat tidak kurang dari 30 perusahaan yang terdaftar oleh Kementerian Perhubungan RI mengoperasikan helikopter. Perusahaan tersebut mengoperasikan beragam jenis helikopter mulai dari yang terbesar yaitu helikopter Mil Mi-17 Hip yang dioperasikan Airfast Indonesia hingga helikopter dengan dimensi yang terkecil seperti Bell 206L milik Sayap Garuda Indah. Pada tahun 2013 jumlah helikopter sipil yang beroperasi di Indonesia berjumlah 200 unit saja.

Helikopter militer yang digunakan TNI AU, TNI AL, dan TNI AD bertujuan untuk mendukung operasioperasi militer seperti penyerbuan/ penghancuran sasaran musuh seperti tank, kendaraan hingga kapal selam musuh, misi angkut pasukan dan logistik, dan misi pencarian dan penyelamatan militer.



Untuk menghancurkan kendaraan militer seperti tank, meriam swa gerak, APC (armored personel carrier) TNI AD menggunakan helikopter tipe Mil Mi-24 Hind buatan Rusia dan Boeing AH-64 Apache buatan Amerika. Untuk misi angkut pasukan dan logistik TNI Angkatan Darat menggunakan Mil Mi-17 hip, Nbell-412, dan NBO-105.

Sedangkan untuk misi angkut pasukan dan logistik TNI Angkatan Udara menggunakan NAS-332 Super Puma dan Eurocopter EC-725 Caracal. TNI Angkatan Laut menggunakan NBO-105 dan AS-365 dauphin untuk misi angkut pasukan dan logistik di kapal perangnya. Untuk misi berburu kapal selam musuh eurocopter AS-365 dauphin dapat dilengkapi dengan sonar pendeteksi kapal selam dan torpedo untuk menenggelamkan kapal selam.

Helikopter Mil Mi-24 Hind milik TNI Angkatan Darat (Sumber: Kaskus)



Merencanakan Heliport

Kembali pada pembahasan heliport, untuk mengoperasian suatu heliport cukup banyak tahapan yang perlu dilakukan oleh operator helikopter atau bandar udara mulai dari tahap perencanaan, pembangunan hingga pengoperasian heliport. Pada tahap perencanaan dan perancangan heliport beberapa point dan bagian heliport yang perlu ditentukan antara lain:

Penentuan D-value heliport.  “D” adalah dimensi keseluruhan helikopter yang terbesar ketika rotor berputar diukur dari posisi yang paling maju dari ujung rotor utama jalur pesawat udara ke posisi paling belakang dari rotor ekor pesawat udara atau helikopter struktur. D-Value ini penting untuk menentukan dimensi bagian-bagian heliport yang akan dibangun. D-Value ditentukan oleh pesawat terbesar yang akan atau berpotensi untuk beroperasi di heliport tersebut. Berikut ini D-Value helikopter yang umum beroperasi di Indonesia.



NO HELIKOPTER D VALUE / PANJANG KESELURUHAN (M)
1 Mil Mi-17 25,35 m
2 Bell 412 17,10 m
3 Airbus AS-365 Dauphin 13,73 m
4 Bell 212 Huey 17,37 m
5 NAS-330 Puma 18,00 m
6 NAS-332 Super Puma 19,50 m
7 EC-725 Caracal 19,50 m
8 Mil Mi-35 Hind 21,6 m
9 Boeing AH-64 Apache Guardian 17,37 m

FATO (Final Approach and Take Off Area). FATO adalah sebuah area tertentu di mana fase akhir dari manuver pendekatan untuk hover atau landing selesai dilaksanakan dan dimana take-off manuver dimulai. FATO akan digunakan oleh helikopter yang dioperasikan dalam kinerja kelas 1 (performance class 1), daerah yang ditetapkan meliputi area rejected takeoff avalaible.

FATO dan Safety Area (Sumber: Annex 14 Volume 2 – Heliports)

Dalam mendesain FATO perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:

  • FATO dapat berbentuk persegi atau lingkaran yang mempunyai garis tengah minimal 1,5 (satu koma lima) kali panjang keseluruhan helikopter terbesar beserta rotornya yang akan dioperasikan pada surface level heliport. Jika ukuran helikopter terbesar (D Value) adalah NAS 332 Super Puma maka FATO adalah 30 m x 30 m.
  • Surface level heliport wajib memiliki minimal 1 FATO.
  • FATO mungkin tidak perlu disediakan di dan aerodrome, di mana landasan digunakan untuk tujuan pendekatan akhir dan lepas landas helikopter.



TLOF (Touch Down and Lift-Off Area). TLOF adalah suatu daerah sentuhan atau menaik (lift-off) helikopter. Dalam mendesain TLOF perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:

  • TLOF dapat bermacam-macam bentuk, sepanjang luasnya dapat menampung sebuah lingkaran yang mempunyai garis tengah minimal 0,83 (nol koma delapan puluh tiga) kali panjang keseluruhan helikopter terbesar beserta rotornya (D) yang akan dioperasikan pada surface level heliport.
  • Surface level heliport wajib memiliki minimal 1 (satu) buah TLOF dimana TLOF tersebut dapat berhimpitan/menjadi satu dengan FATO, keberadaan TLOF dapat lebih dari 1 (satu) dan harus terletak pada helicopter stand.
  • Daya dukung konstruksi TLOF yang berhimpitan/menjadi satu dengan FATO harus didesain untuk dapat menahan beban dinamis minimal 2,5 (dua koma lima) kali dari berat maksimum helikopter terbesar yang akan beroperasi pada surface level heliport tersebut.
  • Helikopter yang beratnya melebihi dari maximum allowable mass dapat melakukan pendaratan atau lepas landas pada surface level heliport tersebut, dalam hal perkalian Symphatetic Response Factor dengan Emergency Landing Impact Factor dikalikan berat maksimum helikopter tersebut tidak melebihi perhitungan total design strength atau tidak melebihi 2,5 (dua kama lima) kali dari berat maksimum helikopter yang diperbolehkan pada surface level heliport tersebut.
  • TLOF wajib memiliki drainase di sekeliling area pendaratan untuk menghindari genangan air atau cairan lain seperti oli dan bahan bakar helikopter.

Safety AreaMerupakan area yang telah ditentukan pada heliport di sekeliling FATO yang bebas dari obstacle, selain yang diperlukan untuk keperluan navigasi penerbangan, dan dimaksudkan untuk mengurangi risiko kerusakan helikopter secara tidak sengaja pada saat menyimpang dari FATO. Surface level heliport yang dioperasikan secara Visual Meteorological Conditional (VMC)/ VFR wajib memiliki safety area yang mengelilingi tepi FATO dihitung dari tepi FATO sampai jarak mendatar minimal 3 (tiga) meter atau 0,25 kali panjang keseluruhan helikopter terbesar beserta rotornya (D) yang akan dioperasikan pada surface level heliport dimana nilai terbesar dari kedua jarak tersebut yang digunakan.

Helicopter Stand

Helicopter Stand adalah tempat parkir (aircraft stand) yang dipersiapkan untuk parkir helikopter, dimana setelah helikopter melakukan ground taxi atau sentuhan pendaratan (touch down) dan menaik (lift-off) ketika melakukan air taxi.

Helicopter Stands yang Didesain untuk Operasi Secara Simultan (Sumber: Annex 14 Volume 2 – Heliports)

Dalam mendesain Helicopter Stand perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:

  • Tempat parkir helikopter (helicopter stand) harus dapat menampung sebuah lingkaran yang mempunyai garis tengah minimal 1,2 (satu koma dua) kali panjang keseluruhan helikopter terbesar beserta rotornya (D) yang akan dioperasikan pada surface level heliport.
  • Tempat parkir helikopter (helicopter stand) yang digunakan untuk berputarnya sebuah helikopter wajib memiliki dimensi beserta area proteksi (protection area) minimal 2 kali panjang keseluruhan helikopter terbesar beserta rotornya (D).
  • Tempat parkir helikopter (helicopter stand) yang digunakan untuk berputarnya sebuah helikopter wajib memiliki area proteksi (protection area) minimal 0,4 kali panjang keseluruhan helikopter terbesar beserta rotornya (D) dihitung dari tepi tempat parkir helikopter (helicopter stand).
  • Tempat parkir helikopter (helicopter stand) termasuk area proteksi yang ada dan digunakan untuk air taxiing harus bersifat ground effect.
  • Tempat parkir helikopter (helicopter stand) wajib memiliki slope/kemiringan permukaan maksimal 2%.



Helicopter Ground Taxiway / Air Taxiway

Helicopter ground taxi-route/taxiway (Sumber: Annex 14 Volume 2 – Heliports)

Helicopter Ground Taxiway adalah taxiway yang berada pada permukaan tanah dipergunakan untuk pergerakan pada helikopter yang beroda di bagian bawah (wheel helicopter undercarriage). Helicopter taxi-route adalah sebuah jalur yang dipersiapkan untuk pergerakan helikopter dari suatu tempat ke tempat yang lain. Taxi-route termasuk suatu pergerakan helikopter pada saat terbang (air taxi) atau ground taxi yang mana keberadaannya tepat ditengah-tengah pada taxi-route. Helicopter ground taxiway harus memiliki lebar minimal 1,5 (satu koma lima) kali lebar dari bentangan kaki helikopter (undercarriage width/UCW) helikopter terbesar yang beroperasi.

Alat Bantu Visual (WDI, Sistem Pencahayaan, dan Marka)

Alat bantu visual untuk membantu pilot ketika akan take-off dan landing terdiri dari WDI (wind direction indicator, sistem pencahayaan, dan marka. WDI atau yang lebih dikenal dengan windsock ini berfungsi untuk mengetahui arah angin dan kecepatan angin. WDI diletakkan di area yang mudah dilihat oleh penerbang helikopter. Sistem pencahayaan ini merupakan lampu-lampu yang berada di area FATO, TLOF, Helistand maupun di taxiway yang membantu proses penerbangan helikopter ketika malam hari. Selain itu juga terdapat marka yang membantu pilot untuk ancang-ancang ketika akan touch down.

Marka FATO (Sumber: Annex 14 Volume 2 – Heliports)

OLS (Obstacle Limitation Surface)

Pada perancangan heliport di Bandar Udara perlu dilakukan analisa terkait OLS (Obstacle Limitation Surface) untuk memastikan bahwa kegiatan penerbangan di heliport bandara ini dapat dilakukan dengan memenuhi syarat safety yang dipersyaratkan. Persyaratan Obstacle Limitation Surface (OLS) yang wajib disediakan untuk penerbangan secara visual (non-instrument approach FATO) yaitu: kawasan lepas landas (take-off climb surface) dan kawasan pendekatan (approach surface). Batas-batas ketinggian kawasan lepas landas dan pendekatan untuk penerbangan visual (non-instrument approach FATO) dimulai dari safety area ditentukan dengan kemiringan keatas maksimum sebesar 8% (delapan persen) dan melebar keluar secara teratur dengan sudut 15% (lima belas persen) kiri dan kanan tepi safety area sampai jarak mendatar 1.310 meter termasuk area rejected take off sepanjang 60 meter.



Picture of Ridwan Harry

Ridwan Harry

Bagikan artikel ini di media sosial Anda:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian