Paul Andreu, Bandara Soekarno-Hatta dan Arsitektur Post-Modern

Photo by Gunawan Kartapranata

Airportman.id – Bandara Soekarno-Hatta atau yang dikenal dengan Bandara Cengkareng adalah bandara terbesar dan tersibuk di Indonesia. Mengutip dokumen Keputusan Menteri Perhubungan RI nomor KM 48 tahun 2008 tentang Rencana Induk Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, bandara yang memiliki three code letter CGK ini memiliki luas sekitar 1.852 ha. Luas ini belum termasuk dengan area untuk landas pacu ketiga. Luas Bandara CGK setara dengan enam kali luas Bandara DPS atau tiga kali Bandara YIA. Bandara CGK memiliki tiga buah runway dengan panjang hingga 3.600 m dan lebar 60 meter yang dapat mengakomodasi pergerakan pesawat komersial terbesar Airbus A380. Panjang runway dengan nomor 07-25 hanya bisa disaingi oleh runway bandara Hang Nadim Batam sepanjang 4.025 meter.

Bandara CGK mengalami trafik pergerakan penumpang tertingginya pada tahun 2018 sebesar 65,6 juta pax. Jumlah ini setara dengan ± 30% dari trafik total di Indonesia sebesar ± 200 juta penumpang. Hingga saat ini belum ada bandara di Indonesia yang dapat menyamai trafik Bandara CGK. Bandara I Gusti Ngurah Rai-Bali sebagai bandara dengan pergerakan penumpang terbesar kedua di Indonesia tercatat hanya sebesar 24 juta pax atau 40% dari trafik Bandara CGK. Kapasitas CGK masih dapat dikembangkan lagi hingga mencapai 100 juta penumpang dengan membangun Terminal 4 (T4). Lokasi pembangunan T4 direncanakan di area lapangan golf yang berseberangan dengan Terminal T3.


Bandara CGK menjadi simbol keberhasilan pembangunan pada masa itu. Gambar terminalnya diabadikan pada uang pecahan Rp 50.000,-, yang merupakan uang pecahan terbesar saat itu dan bersandingan dengan gambar Presiden Republik Indonesia Bapak Soeharto.

Bandara CGK beberapa kali menjadi lokasi syuting film. Salah satunya adalah scene pada film Si Doel Anak Sekolahan ketika Doel berangkat ke Swiss dari T2 CGK. Scene kedatangannya juga diperlihatkan ketika adegan rombongan keluarga Doel (Mandra, Karyo dkk) menunggu kedatangan Doel di Terminal Keberangkatan alih-alih menunggu di Terminal Kedatangan di lantai dasar.

Dibalik kemegahan desainnya mungkin tidak banyak dari kita yang tahu siapa arsitek Bandara CGK. Dialah Paul Andreu bersama biro konsultan ADPI (Aeroports de Paris Ingenierie) yang telah mendesain Bandara CGK. Lahir pada 10 Juli 1938 di Cauderan-Prancis, Paul Andreu menamatkan pendidikan arsitekturnya di Paris’s École Nationale Supérieure des Beaux-Arts pada tahun 1968. Setelah lulus Paul Andreu bergabung dengan biro konsultan ADPI dan ikut serta dalam perencanaan Terminal 1 Bandara Charles De Gaulle di Roisy Paris pada tahun 1974.


Selama 40 tahun berkarir sebagai arsitek dengan spesialisasi perancangan bandar udara, Paul Andreu telah mendesain tidak kurang hingga 40 bandara di seluruh dunia. Beberapa diantaranya antara lain: Bandara Charles De Gaulle (CDG T1 dan T2), Bandara Kansai (KIX), Dubai Airport (DXB), Manila Airport (MNL), dll. Paul Andreu tutup usia pada 11 Oktober 2018 di umur 80 tahun.

Pemerintah Indonesia menunjuk Paul Andreu dan Biro Desain ADPI pada akhir tahun 1976 sebagai perancang Bandara CGK. Proses desain berlangsung selama 18 bulan dilanjutkan proses persiapan dan pembangunan dimulai pada tahun 1980. Tidak tanggung-tanggung saat itu langsung dibangun 2 runway dengan 2 terminal penumpang. Terminal 1 untuk melayani pergerakan penumpang domestik dibangun tahun 1980 dan Terminal 2 untuk melayani penerbangan Internasional dibangun tahun 1992. Pengoperasian Bandara CGK diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1985.

Sketsa tangan terminal CGK oleh Paul Andreu (Sumber: Architecture Beyond Arhitecture)

Desain Terminal Penumpang CGK terinspirasi dari pemandangan landscape perkampungan Indonesia. Ketika Paul Andreu pertama kali mendarat di Indonesia, sepanjang mata memandang yg dilihatnya adalah rimbunnya pepohonan dengan diselingi rumah-rumah kecil tidak terhitung jumlahnya. Rumah-rumah di perkampungan yg mayoritas berbentuk atap pelana, julang ngapak atau perisai menjadi inspirasinya ketika mendesain terminal penumpang CGK. Pada terminal 1 dan 2 atap pelana digunakan untuk main building terminal, model julang ngapak untuk atap koridor utama dan atap perisai digunakan untuk bangunan boarding lounge.

Deretan atap pelana di kerb keberangkatan dan kedatangan Terminal 1 CGK, foto diambil ketika proses konstruksi, perhatikan kolom-balok masih menggunakan cat berwarna merah sebelum diganti warnanya seperti sekarang ini. (Sumber: Lobo ADP via Archdaily.com)
Setiap peralihan ruang dari curbside ke main building dan ke bangunan boarding gate disediakan taman-taman untuk membantu mendinginkan suhu ruangan selain menambah keindahan visual (sumber: Labo ADP via Archdaily.com)

Diantara ‘rumah-rumah di perkampungan’ diselipkan taman-taman rimbun yang memberikan kesan teduh dan soft diantara dinding-dinding beton bandara yang keras. Taman-taman ini menjadi salah satu view yang bisa kita nikmati setelah bosan melihat deretan pesawat di apron. Kita juga dapat memandang taman ini dari jendela di atas urinal di toilet. Koridor dari atau menuju bangunan boarding lounge dihiasi taman di kanan kirinya memberikan kesan tersendiri bagi penumpang mancanegara. Pada awalnya koridor ini dibuat terbuka sehingga penumpang dapat merasakan langsung suasana taman dengan desir dedaunan dan nyanyian serangga-serangga di malam hari. Koridor terbuka ini juga lebih hemat energi karena tidak memerlukan banyak penghawaan buatan. Namun sekarang koridor ini telah tertutup seluruhnya oleh dinding kaca.

Koridor penghubung dari main building ke boarding lounge beratap joglo dengan desain terbuka menghadap ke taman (Sumber: Labo ADP via Archdaily.com)

Paul Andreu mendesain Bandara CGK selang dua tahun setelah mendesain terminal 1 Bandara CDG sehingga tidak mengherankan banyak kemiripan desain diantara dua bandara ini. Bandara CGK dan CDG sama-sama menggunakan model main building terminal yang terpisah dengan bangunan untuk fungsi boarding lounge atau dikenal dengan model finger pier. Jika boarding gate CGK dipisahkan oleh taman maka boarding gate CDG dipisahkan oleh taxiway sehingga penghubungnya menggunakan tunnel underground.


Main building CGK (jika T1 dan T2 disatukan) berbentuk lingkaran seperti T1 CDG. Bentuk finger pier ini mempengaruhi bentuk parking stand pada apron yang melingkar mengelilingi terminal. Desain apron melingkar seperti ini sangat fleksibel trhadap perubahan dimensi pesawat yang silih berganti mendarat dan lebih hemat ruang dibanding parking stand berjajar linear. Perbedaannya adalah jika Bandara CDG didesain dengan langgam arsitektur modern sedangkan Bandara CGK didesain dengan perpaduan antara arsitektur tradisional dengan arsitektur modern.

Dapat kita perhatikan detail-detail interior pada Terminal 1 dan 2 mengambil elemen arsitektur tradisional. Bata merah digunakan di spot-spot tertentu seperti di dinding tangga menuju koridor keberangkatan. Di lounge keberangkatan kita akan melihat ciri khas rumah joglo seperti tiang-tiang soko guru dengan kaso-kaso besinya yang berwarna tembaga. Penutup atap bangunan boarding lounge menggunakan genteng tanah liat yang banyak digunakan di rumah-rumah Indonesia.

Konsep arsitektur tradisional lain yang diadopsi dalam desain adalah ketinggian langit-langit yang masih manusiawi atau tidak terlalu tinggi. Ceiling seperti ini menjadikan suasana interior menjadi sangat nyaman walau penumpang menunggu cukup lama. Selain itu tentu akan dapat menghemat energi AC dan lampu.

Koridor utama menuju bangunan boarding lounge menggunakan model atap julang ngapak dari daerah Sunda. (sumber: Labo ADP via Archdaily.com)
Gerbang Bandara Soekarno-Hatta dengan konsep Candi Bentar Bali. (Sumber Aga Khan Trust for Culture via Archnet.org)

Ciri khas arsitektur modern terlihat dari penggunaan material modern seperti kaca, beton, dan besi di interior maupun struktur bangunannya. Dari beberapa foto Bandara CGK jaman dahulu sepertinya Paul Andreu mendesain beton-beton kolom dan balok dengan konsep beton telanjang atau beton ekspos yang tidak dicat. Saat itu penggunaan beton ekspos memang sedang menjadi trend. Namun saat ini terlihat beton tersebut sudah dicat putih atau abu muda sehingga menghilangkan identitas awalnya.


Perpaduan antara elemen-elemen arsitekur modern dan tradisional ini memberikan kesan bangunan yang megah namun tetap humble, menyatu dengan lingkungan sekitar dan memberikan identitas atau ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan bandara-bandara internasional lainnya. Perpaduan beragam arsitektur tradisional dari berbagai daerah ini melambangkan Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa yang memiliki kekhasan masing-masing. Tidak banyak bandara yang memadukan elemen arsitektur tradisional ke dalam desainnya seperti Bandara CGK T1 dan T2, bahkan desain terminal berikutnya yaitu T3 didesain dengan konsep arsitektur yang sangat modern terlihat dari bangunan yang sangat tinggi, façade yang didominasi oleh kaca, struktur kolom baja ekspos, dan penggunaan atap datar.

Interior ruang boarding lounge dengan desain struktur kolom baja yang terinspirasi dari soko guru rumah joglo, perhatikan box telepon umum yang dijaman itu pasti ramai digunakan sebelum penumpang masuk ke pesawat (Sumber : Labo ADP via Archdaily.com)

Dari beragamnya elemen-elemen arsitektur tradisional yang dipadukan dengan arsitektur modern pada desain Bandara CGK dapat kita simpulkan karya Paul Andreu ini termasuk dalam arsitektur post-modern.

Menurut Frank O. Gehry (1991), arsitektur post-modern merupakan suatu perpaduan antara arsitektur modern dengan arsitektur tradisional yang berorientasi pada kebudayaan, tatanan masyarakat, tingkat sosial, nilai historis, langgam bangunan, serta lingkungan sebagai salah satu bagian penting dari arsitektur. Post-modern selalu berusaha mempertahankan bangunan lama yang memiliki nilai sejarah tinggi dengan cara membuatnya berdampingan dengan bangunan baru sehinga keduanya akan saling mendukung.

Ridwan Harry

Ridwan Harry

Bagikan artikel ini di media sosial Anda:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian