Proses Pemilihan Lokasi Bandara Internasional Yogyakarta (Part 1)

Bandara Internasional Yogyakarta

Airportman.idKali ini kita akan membahas tentang sejarah pemilihan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo. Artikel ini bertujuan sebagai sharing pengalaman bagi kita semua bagaimana sih secara singkat suatu lokasi dipilih untuk menjadi bandar udara lengkap dengan segala fasilitas utama dan pendukungnya. 

Memilih lokasi baru untuk pembangunan bandara baru tentu bukanlah proses yang sederhana dan membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya. Perlu dilakukan kajian analisa secara komprehensif dan mendalam untuk menentukan lokasi bandara tersebut. Tidak terkecuali dengan Bandara Baru di Yogyakarta, Kulonprogo. Proses pemilihan lokasi baru di D.I Yogyakarta dimulai dengan ditanda tanganinya MoU pembangunan bandara baru di Yogyakarta antara PT. Angkasa Pura 1 (Persero) atau AP1 dengan Pemerintah Daerah D.I. Yogyakarta pada 25 Januari 2011. Setelah itu dilanjutkan dengan studi penetapan lokasi dan kelayakan bandara baru oleh PT. Angkasa Pura I (Persero) bekerja sama dengan Pustral UGM dan GVK India selama 2 tahun. Akhirnya pada tahun 2013 Kementerian Perhubungan menerbitkan Keputusan Menteri Perhubungan nomor: KP 1164 tahun 2013 tentang Penetapan Lokasi Bandar Udara Baru di Kabupaten Kulonprogo Provinsi D.I Yogyakarta. Di tahun 2015 hingga 2016 dilakukan studi lanjutan berupa studi basic design and development oleh PT Virama Karya.

Tahap pembebasan lahan seluas ±583 ha dilaksanakan selama dua tahun hingga 2018. Konstruksi pembangunan bandara dimulai pada Juli 2018 hingga 2020. Bandara yang kemudian diberi nama Bandar Udara Internasional Yogyakarta ini diresmikan oleh Presiden RI, Ir joko Widodo pada 28 Agustus 2020. Sejak awal studi pemilihan lokasi bandara baru hingga resmi dioperasikan dibutuhkan waktu tidak kurang dari sembilan tahun hingga bandara dapat beroperasi penuh.

Latar Belakang Pembangunan Bandara Baru

Bandar Udara Internasional Adi Sucipto – Yogyakarta (JOG) adalah bandara yang terletak di Kapanewon Maguwoharjo, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bandara ini awalnya dibangun pada 1940 dan mulai digunakan sebagai pangkalan udara militer oleh Militairi Luchtvaart, Angkatan Udara Kerajaan Belanda pada 1942. sejak 17 Agustus 1952 Pangkalan Udara Maguwo ini resmi berubah nama manjadi Pangkalan Udara Adisutjipto. Di tahun 1964 Pangkalan Udara Adisutjipto mulai digunakan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sebagai bandar udara untuk penerbangan sipil. Perluasan terminal penumpang dimulai pada tahun 1972 dan kembali dilakukan perluasan terminal lima tahun kemudian. Pada tanggal 1 April 1992, sesuai dengan PP nomor 48 tahun 1992, Bandar Udara Adisutjipto secara resmi dikelola/ dioperasikan oleh Perum Angkasa Pura 1.

Sejak dioperasikan oleh PT. AP 1 trafik pergerakan penumpang di Bandara Adisutjipto terus mengalami kenaikan. Di tahun pertama Bandara JOG dioperasikan oleh PT. AP 1 trafik pergerakan penumpang masih berkisar satu juta penumpang. Dua puluh tahun berikutnya trafik penumpang sudah mencapai hampir lima juta penumpang pertahun. Menurut Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 51 tahun 2008 tentang Rencana Induk Bandara Adisucipto – Yogyakarta, disebutkan bahwa kapasitas maksimal Bandara JOG hanya sampai 6,4 juta penumpang saja. Untuk mencapai kapasitas tersebut, Bandara JOG perlu memperluas fasilitas di bandaranya antara lain perluasan terminal hingga 30.000 m2, penambahan apron dan perpanjangan runway hingga 2.500 m. Namun tingginya pertumbuhan trafik penumpang menyebabkan kapasitas maksimal Bandara JOG telah terlampaui di tahun 2015. Pada tahun 2018 trafik penumpang di Bandara JOG sudah mencapai 8,4 juta penumpang per tahun. Diprediksi dalam 20 tahun berikutnya trafik penumpang akan tumbuh hingga 20 juta penumpang per tahun. Sedangkan dengan luas terminal penumpang eksisting 8.300 m2 idealnya hanya untuk mengakomodasi penumpang sebanyak 1,7 juta penumpang saja. 

Perluasan bandara untuk mengejar pertumbuhan penumpang memerlukan usaha ekstra karena kawasan sekitar bandara yang sudah dipadati oleh pemukiman dan bangunan lainnya. JIka bandara diperluas ke sisi utara harus memindahkan jalur kereta api atau ‘mengangkangi’ jalur kereta api tersebut. Di sisi barat terdapat kawasan museum dirgantara milik TNI AU, sisi selatan adalah kawasan TNI AU, dan sisi timur adalah kawasan pemukiman padat penduduk. Dengan luas hanya ±112 ha, Bandara JOG memerlukan luas tambahan hingga 200 ha untuk bisa meningkatkan kapasitasnya hingga 20 juta penumpang per tahun.

Keterbatasan lahan untuk perluasan bandara dan semakin tingginya pertumbuhan penumpang di Bandara JOG sedangkan kapasitas maksimal telah terlampaui adalah beberapa alasan utama diperlukannya bandara baru di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pemilihan Lokasi Bandara Baru

Dalam proses pemilihan lokasi bandara ini pihak pemrakarsa pembangunan bandara, dalam hal ini PT. AP 1, dan konsultan akan menentukan beberapa alternatif lokasi bandara yang akan dinilai kelayakan lokasi tersebut untuk menjadi lokasi pembangunan bandara baru. Aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam penilaian tersebut antara lain dari aspek kelayakan dari kesesuaian dengan rencana pengembangan wilayah, aspek kelayakan teknis, aspek kelayakan operasional, dll. Dari hasil penilaian ini akan dipilih dua alternatif lokasi (short list) yang akan dianalisa lebih detail untuk memilih lokasi final bandara baru di D.I Yogyakarta.

Untuk menentukan lokasi mana saja yang menjadi alternatif calon lokasi bandara baru, PT AP 1 melakukan beberapa kegiatan seperti: survey lokasi di seluruh lokasi di DIY yang memungkinkan untuk pembangunan bandara, studi literatur terkait kondisi topografi, tanah, peraturan daerah terkait RTRW dll. Akhirnya dipilihlah 6 alternatif calon lokasi bandara baru yaitu: Selomartini Kabupaten Sleman, Gading airport di kabupaten Gunung Kidul, Gading Harjo di Kabupaten Bantul, Bugel di Kabupaten Kulonprogo, Temon di Kabupaten Kulonprogo, dan Bulak Kayangan juga di kabupaten Kulonprogo. (Gambar 1)

Gambar 1. Alternatif Lokasi Bandara Baru

Dari hasil diskusi PT. AP 1 dengan konsultan dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara terdapat beberapa syarat minimal untuk pemilihan lokasi bandara diantaranya:

  • Memiliki bentuk lahan yang memungkinkan untuk membangun runway dengan arah timur-barat, karena bandara sekitar memiliki arah runway dari barat-timur.
  • memiliki lahan yang datar;
  • memiliki bentuk lahan minimal 1,1 km x 5,4 km;
  • lahan memiliki obstacle seminimal mungkin terutama di area ancangan pendaratan dan lepas landas;
  • lahan berada di luar zona letusan gunung berapi;
  • lahan memiliki pemukiman seminimal mungkin untuk memudahkan proses relokasi penduduk;
  • lahan dapat dicapai dalam satu jam dari pusat Kota Yogyakarta;
  • bukan merupakan area penambangan aktif;dan
  • sejalan dengan peraturan daerah setempat.

Dari hasil survey lapangan dan literatur didapatkan lahan yang datar dan cocok untuk bandara antara lain di Gading Harjo, Bugel, dan Temon. (Gambar 2)

Gambar 2. Kelandaian Lahan

Untuk lahan yang memiliki obstacle seminimal mungkin dengan tidak ada hambatan di area ancangan lepas landas dan pendaratan antara lain: Selomartini, Bugel, Temon, dan Bulak Kayangan. (Gambar 3)

Gambar 3. Analisa Obstacle

Sedangkan lahan yang memiliki pemukiman yang relatif sedikit untuk direlokasi adalah semua lokasi kecuali Bulak Kayangan.

Gambar 4. Konsentrasi Pemukiman

Setelah dilakukan beragam penilaian terhadap aspek-aspek diatas dihasilkan dua lokasi terpilih (short list) untuk dilanjutkan dengan analisa yang lebih detail yaitu Gadingharjo dan Temon di Kabupaten Kulonprogo. Untuk pembahasan lebih detail untuk analisa hingga pemilihan Temon sebagai lokasi bandara baru kita lanjut di part 2.

Picture of Ridwan Harry

Ridwan Harry

Bagikan artikel ini di media sosial Anda:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian